GLOBALISASI DAN KEMUDAHAN EKSPLOITASI
(Pemanfaatan SDM dan SDA oleh Kapitalis)
Oleh:
Anton Giri Sadewa
07406244039
Pendahuluan
Fenomena sekarang ini yang muncul terutama semakin kecil dan kemudahan jangkauan informasi, komunikasi tukar pengetahuan dan condong mengkerucut menjadi satu dominasi persamaan yang terlihat nyata. Perekonomian yang semakin kompleks dapat diakses dengan mudah dengan teknologi, kebudayaan yang seakan tidak terlihat sekat perbedaan semakin kentara dan fenomena lain yang kita bahkan tidak sadar terbawa arusnya. Globalisasi merangkap sebagai sebuah corong berbagai kepentingan yang tidak terlihat kasat mata yang pada akhirnya dan kita mau atau tidak mau masuk di dalamnya.
Banyak di antara kita yang menerima globalisasi ini sebuah kenyataan yang tidak perlu dipertanyakan. Terlebih lagi peranan perseorangan atau kelompok yang memanfaatkan globalisasi itu sebagai sarana untuk mempermudah jalannya tujuan mereka. Tetapi, pernahkah kita memikirkan lebih dalam siapa yang sesungguhnya diuntungkan dan siapa yang dirugikan dari proses globalisasi? Bagaimana pemanfaatan SDM dan SDA yang maunya sendiri sebagai suatu pemanfaatan kaum kapitalis dengan kondisi arus globalisasi sekarang ini? Refleksi terhadap pertanyaan ini perlu dilakukan mengingat Indonesia sepertinya belum diuntungkan oleh kehadiran globalisasi, kusunya individu yang terbawa arus globalisasi.
Keterkaitan Globalisasi dengan Kapitalisme
Menurut asal katanya, kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[1]
Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untung kepentingan-kepentingan pribadi.[2]
Globalisasi adalah sebuah pemikiran ideologi Kapitalisme yang komprehensif dan meliputi segenap aspek kehidupan, kendatipun yang menonjol adalah aspek ekonomi. Globalisasi merupakan serangan total peradaban kapitalis yang melanda seluruh pelosok dunia. Kata globalisasi diambil dari kata global, yang maknanya ialah, universal. Jadi globalisasi maksudnya adalah universalisasi ideologi kapitalisme, atau menjadikan kapitalisme sebagai satu-satunya ideologi dan peradaban dunia.[3]
Globalisasi adalah suatu ungkapan yang berarti penyatuan (integrasi) dan penundukan perekonomian lokal ke dalam perekonomian dunia, dengan cara memaksakan penerapan format ekonomi swasta ke dalam struktur perekonomian dunia, serta menjadikan ekspor setiap negara ditujukan untuk pasar dunia, selain untuk pasar regional. Semua ini mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang, dan jasa. Jadi pasar dan perekonomian dunia itu tentu bukanlah perekonomian yang tertutup atau terproteksi, melainkan perekonomian terbuka, atau apa yang disebut dengan pasar yang terbuka terhadap segala kekuatan ekonomi. Jadi nyatalah bahwa universalitas, integrasi, mendukung dalam dominasi suatu pergerakan yang diambil oleh Kapitalis sebagai jalan utama untuk menyelenggarakan prinsipnya.
Kemudahan Sistem Eksploitasi Manusia
Dalam era globalisasi ekonomi, MNCs (multinasional Corporation) dapat dengan mudah memindahkan pabrik mereka ke wilayah atau negara dimana upah pekerja jauh lebih murah dibandingkan negara asal mereka serta membeli bahan baku produksi dari wilayah yang menjual paling murah, sesuatu yang tentunya sulit dilakukan sebelum terjadinya globalisasi ekonomi. Di satu sisi, hal ini tentunya meningkatkan keuntungan perusahaan-perusahaan itu secara drastis. Di sisi lain, hal ini menimbulkan terjadinya eksploitasi, terutama di negara-negara berkembang karena di negara-negara itu, upah pekerja dan bahan baku produksi tergolong paling murah.
Sebagai contoh, pada 1970-1971, produsen sepatu Nike memiliki pabrik di Korea Selatan dan Taiwan. Namun, di era 1980-an, ketika serikat pekerja yang mulai berkembang pesat di kedua negara tersebut menuntut upah yang lebih baik, Nike memindahkan pabrik mereka ke Indonesia, Cina dan Vietnam untuk mencari pekerja yang lebih murah. Di negara-negara ini, Nike tidaklah benar-benar memiliki pabrik sendiri, tetapi bekerjasama dengan perusahaan sepatu lokal untuk memproduksi sepatu mereka, Cara ini digunakan agar Nike dapat terbebas dari tanggung jawab kesejahteraan terhadap pekerja pabrik dengan alasan mereka hanya sebagai pembeli barang dan bukanlah pemilik pabrik.
Pada 1996, pabrik yang memproduksi sepatu Nike di Indonesia membayar pekerja mereka di bawah upah minimum regional yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Upah minimum ini sendiri diperkirakan hanya mampu memenuhi 70 persen kebutuhan para pekerja. Pada 1998, keuntungan Nike mencapai 8,7 miliyar USD. Artinya, apabila Nike menaikkan gaji seluruh pekerja pabriknya hingga dua kali lipat dari gaji semula, maka Nike masih akan mendapat keuntungan yang sangat besar. Tetapi, Nike menolak melakukan itu yang berarti menandakan terjadinya eksploitasi pekerja oleh MNCs seperti Nike ke negara-negara berkembang seperti Indonesia.[4]
Bumi Bukan Milik Kapitalis
Dampak sistem ekploitasi diatas hanya sebagian yang terlihat dari segi manusia sebagai tenaga kerja, dalam sistem ekonomi kebutuhan akan bahan baku perlu juga ditekan seminimal mungkin terutama pada pemanfaatan bahan baku yang ketersediannya di alam. Hal ini terbukti pada tahun 2006 lalu dalam pertemuan IPCC di Paris menegaskan bahwa bencana yang terjadi selama ini merupakan dampak pemanasan Global, dipastikan pula bahwa pemanasan global ini tidak serta merta datang begitu saja tentu ada penyebabnya dan ini merupakan ulah manusia yang berlomba – lomba mengeruk bumi untuk membangun kapital sebasar – besarnya mulai dari perorangan, kelompok kecil, konglomerat sampai pada tataran negara yang pada gilirannya dapat digunakan untuk mengatur miliunya, negara adikuasa, dan para kapitalis lainnya sampai pada ekspansi penguasaan negara lain.[5]
Dalam skala global tidak ada suatu negarapun yang bebas dari dampak perubahan iklim ini. Semua ini tidak lepas dari peran kapitalis berupa perusahaan Multinasional yang terlihat nyata dampaknya sejak revolusi industri tahun 1750. Kehancuran bumi dengan sistem ataupun prinsip para kapitalis yang hanya melihat keuntungan belaka mengakibatkan eksploitasi semaksimal mungkin terhadap bumi yang berimbas pada perusakan lingkungan, secara kasat mata dapat dilihat bahwa hal itu bukan hanya akibat dari upaya sekelompok ataupun perusahaan – perusahaan Multinasional untuk mengeruk keuntungan namun jelas sekali peran pemilik modal sangat vital seperti halnya para kapitalis.
Wajah kapitalisme dengan berbagai variannya cenderung tidak meninggalkan karakteristik utamanya yang bersifat fleksibel, membangun dominasi dan eksploitasi terutama terhadap sumber – sumber daya strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Menguatnya fenomena globalisasi akibat kemajuan IPTEK meyakinkan semua pihak bahwa disini terjadi globalisasi kapitalisme dimana peran pemilik modal menentukan wajah dunia di semua aspek.[6]
Pihak Yang Paling Dirugikan
Berdasarkan fenomena di atas, dapat diduga ada dua pihak yang paling dirugikan, yaitu (1) negara-negara berkembang, dan (2) lingkungan hidup, termasuk sumber daya alam yang berada di dalamnya. Untuk negara-negara berkembang, selain eksploitasi pekerja, juga muncul brain drain. Brain drain adalah fenomena semakin terkikisnya sumber daya manusia, dalam hal ini tenaga kerja profesional, dari negara-negara berkembang ke luar negeri dalam upaya mencari kehidupan yang lebih layak.
Sebagai contoh, menurut United Nation Development Program (UNDP), pada 2007, terdapat 300.000 tenaga ahli serta profesional dari Afrika yang memilih bekerja serta menetap di luar negeri. Ethiopia merupakan negara yang paling parah kehilangan kaum pekerjanya, yaitu sebesar 75 persen dari jumlah pekerja profesional yang dimiliki pada 1980-1991. Sejak 1990, diperkirakan benua Afrika kehilangan 20.000 pekerja profesionalnya karena memilih bekerja dan menetap di luar negeri. Untuk menutupi kekosongan pekerja profesional itu, Afrika mendatangkan 150.000 tenaga kerja ahli dan profesional yang berasal dari luar negeri dengan beban biaya 4 miliar USD per tahun untuk upah para pekerja tersebut. Realita ini merupakan pukulan telak bagi perkembangan negara-negara tersebut akibat hilangnya sumber daya manusia yang berkualitas serta kerugian ekonomi karena harus mendatangkan pekerja asing. Bahkan di Indonesia sendiri, banyak pekerja ahli dan profesional yang memilih bekerja di luar negeri karena hasil karya mereka kurang mendapat apresiasi di dalam negeri.[7]
Contoh lainnya adalah brain drain yang terjadi di Eropa. Di kawasan ini, terjadi eksodus besar-besaran tenaga profesional dari negara-negara Eropa Timur ke negara-negara Eropa Barat. Eksodus ini merupkan ironi karena seharusnya integrasi Eropa Timur ke dalam Uni Eropa akan semakin memajukan perkembangan di wilayah tersebut, tetapi yang terjadi justru mereka kehilangan tenaga-tenaga profesional yang sangat dibutuhkan untuk memajukan wilayah mereka.
Sebagai pembanding, dalam waktu 2 tahun setelah Latvia bergabung dengan Uni Eropa (2004), terdapat migrasi 60.000 tenaga kerjanya ke Eropa Barat, mulai dari dokter, pengajar, hingga teknisi komputer. Bila tren ini terus berlanjut, maka diperkirakan penduduk Latvia akan berkurang setengahnya pada tahun 2050 dari jumlah penduduk yang tercatat pada 2006. Sedangkan, dalam jangka waktu yang sama di Slovakia, ada 37.000 tenaga kerja profesional bermigrasi ke Inggris. Jumlah ini tidak termasuk migrasi ke negara-negara Eropa Barat lainnya. Sementara pada 2006, Polandia memiliki tingkat pengangguran hingga 16 persen, tetapi negara ini justru kekurangan tenaga kerja profesional karena terjadinya eksodus ke Eropa Barat sehingga mereka harus mendatangkan tenaga kerja dari Korea Utara. Semua fenomena tersebut membuktikan bahwa brain drain yang terjadi di era globalisasi menjadikan negara-negara yang sebelumnya sudah terpuruk menjadi semakin terpuruk.
Bumi Yang Sekarat
Pihak lain yang sangat dirugikan dari perkembangan globalisasi tetapi sering diabaikan adalah Bumi, lingkungan hidup tempat tinggal umat manusia dengan berbagai sumber daya alamnya yang sangat penting untuk menopang seluruh sendi kehidupan kita semua. Kerugian lingkungan serta sumber daya alam di dalamnya dapat dilihat dari kemampuan alam untuk menopang perkembangan globalisasi ekonomi yang terjadi saat ini. Menurut David Pimentel, seorang profesor ekologi dari Universitas Cornell, jika mulai 1999 setiap keluarga di seluruh dunia hanya memiliki anak sebanyak 2 orang saja, maka populasi dunia diperkirakan akan mencapai 12 miliyar orang pada. Pertanyaannya, mampukah lingkungan hidup kita menopang populasi sebanyak itu?
Sebagai pembanding, menurut studi yang dilakukan oleh Worldwacth Institute pada 2006, seandainya saja seiring pertumbuhan ekonomi seluruh penduduk Cina dan India memiliki rata-rata pendapatan per kapita sama dengan yang dimiliki oleh Amerika Serikat, maka diperlukan produksi sumber daya dua kali lipat dari seluruh produksi dunia saat ini untuk memenuhi kebutuhan kedua negara itu saja. Pada 2006, konsumsi pangan per kapita rakyat Amerika Serikat tiga kali lebih banyak dari rakyat Cina dan lima kali lebih banyak dari rakyat India, Jumlah karbondioksida per kapita yang dihasilkan rakyat Amerika Serikat enam kali lebih banyak dari Cina dan 20 kali lebih banyak dari India. Pada 2005 saja, Cina menghabiskan 25 persen baja, 32 persen beras, dan 47 persen semen dari total yang diproduksi di seluruh dunia.[8]
Ini menunjukkan bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi global tidak mampu diimbangi dengan kemampuan lingkungan hidup dan sumber daya alam untuk menopangnya. Jika tindakan konkret tidak segera dilakukan, maka sebuah bencana besar akan menimpa kita semua.
Penutup
Semua fenomena tersebut membawa kita pada sebuah pertanyaan: apakah globalisasi dan perdagangan yang dilakukan sebagai suatu ideologi kaum kapitalis adalah kawan atau lawan? Jawabannya terpulang pada diri kita masing-masing, apakah kita memiliki kemauan serta kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan ekonomi yang mengarah pada globalisasi ekonomi? Apabila kita tidak mampu beradaptasi, tentunya akan terlihat sebagai musuh. Namun, jika kita mampu beradaptasi, tentunya akan terlihat sebagai kawan.
Perlu diperhatikan, apabila sejak awal kita diberikan suatu pemikiran akan arus globalisasi yang menuntut pada perubahan serta peningkatan akan kebutuhan persaingan di dunia yang semakin tidak jelas sekatnya maka kita akan menganggap bahwa fenomena di atas sebagai motivasi perubahan diri untuk beradaptasi, bukan lagi sebagai budak kapitalis yang memanfaatkan globalisasi sebagai alat mereka. Didukung oleh sumber daya alam yang banyak sebenarnya kita mampu untuk bersaing di arus globalisasi ini.
[1] Globalisasi, Dapat diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi, diakses pada tanggal 15 Januari 2011
[2] Kapitalisme, Dapat diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Kapitalisme, diakses pada tanggal 15 Januari 2011
[3] Ahmad al-Khatib, Globalisasi skenario metakhir kapitalise, dapat diakses di http://www.jurnal-ekonomi.org/2004/05/10/globalisasi-skenario-mutakhir-kapitalisme, diakses pada tanggal 15 Januari 2011.
[4] Kadek Anggi Sastra Pramana, Untung Rugi Globalisasi/PDF, Universitas Airlangga, Tanggal pembuatan tidak dicantumkan. hlm. 248.
[5] Ir. Rachmat Witoelar, Bumi Bukan Milik Kapitalis, Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan,2009,hlm.3–4.
[6] Ibid., hlm 5 – 6.
[7] Kadek Anggi Sastra Pramana, Untung Rugi Globalisasi/PDF, Universitas Airlangga, Tanggal pembuatan tidak dicantumkan. hlm. 249.
[8] Ibid., hlm 250.
Tinggalkan komentar